![]()
Islam sebagai Rahmat untuk Seluruh Alam Penulis: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed Manhaj, 28 - Juni - 2003,
10:44:57
Kalimat "negara Islam" telah
menjadi momok yang menakutkan, terutama sejak dipaksakannya rekayasa sejarah
yang mendiskreditkan Islam dan gerakan Islam. Digambarkan betapa seramnya hukum
Islam jika diterapkan, betapa sadisnya hukum rajam dan potong tangan dan
seterusnya.
Ditambah lagi dengan gerakan-gerakan bid'ah yang berjihad
tanpa ilmu, yang menambah rusaknya gambaran Islam di mata awam. Yang akibatnya
orang awam dan non-Islam mengira gerakan jihad identik dengan terorisme,
perampokan, penjarahan, dan seterusnya.
Akhirnya Islampobia menjalar di
masyarakat, bahkan orang-orang yang berstatus Muslim pun takut kalau hukum Islam
diterapkan di Indonesia Raya ini. Padahal kalau mereka mau melihat Islam dari
sumbernya yang asli dari Qur'an dan Sunnah, dengan pemahaman generasi-generasi
terbaik yang dipuji Allah dan Rasul-Nya, maka mereka akan dapati Islam adalah
rahmat dan kasih sayang untuk seluruh alam.
Allah ciptakan syariat ini
dan Allah utus Rasul-Nya adalah sebagai bukti kasih sayang-Nnya kepada seluruh
manusia. Allah berfirman: "Tidaklah Kami mengutus engkau kecuali sebagai rahmat
bagi seluruh alam." (Al-Anbiya: 107)
Ibnu Abbas radliyallahu `anhu
berkata tentang ayat ini: "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
Allah tuliskan baginya rahmat di dunia dan akhirat. Adapun orang yang tidak
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka mereka pun mendapat rahmat dengan
datangnya Rasul yaitu keselamatan dari adzab
di dunia, seperti
ditenggelamkannya ke dalam bumi atau dihujani dengan batu." (Tafsir Ibnu Katsir
3/222)
Oleh karena itu ketika malaikat Jibril datang kepada Nabi
shallallahu `alaihi wa sallam dalam keadaan beliau terusir dari kaumnya,
dilempari dengan batu di Thaif hingga berdarah kakinya, duduk di luar kota tanpa
kawan, bermunajat kepada Allah. Malaikat itu berkata: "Aku diutus Allah untuk
mentaati perintah-Mu. Jika engkau menginginkan agar aku menimpakan gunung ini
kepada mereka aku akan laksanakan." Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam bersabda: "Ya Allah, berilah hidayah pada mereka karena sesungguhnya
mereka belum mengetahui." Melihat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
berdoa seperti itu, Jibril mengatakan: "Maha benar Allah yang menamakanmu
ra'ufur rahim." (lihat Nurul Yaqin hal. 56)
Inilah bukti kasih sayang
beliau kepada seluruh manusia. Jika beliau diberi pilihan doa yang maqbul
terhadap kaumnya apakah dilaknat dan diadzab ataukah diberi hidayah, tentu
beliau memilih berdoa agar Allah memberikan hidayah.
Pernah suatu hari
beliau didatangi oleh Thufail Ad-Dausi. Dia berkata: "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kabilah Daus menentang dan menolak dakwah ini. Maka doakanlah agar
Allah menghancurkan mereka." Maka Rasulullah pun menghadap kiblat dan mengangkat
kedua tangannya. Para shahabat yang ada di situ berucap: "Binasalah Daus!"
Ternyata Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mengucapkan doa: "Ya Allah,
berilah hidayah pada suku Daus dan bawalah mereka kemari" (beliau mengucapkannya
tiga kali). (HR. Bukhari dan Muslim). Doa beliau ternyata maqbul. Suku Daus
datang berbondong-bondong kepada Nabi untuk masuk Islam. Demikian pula
diriwayatkan dari Muslim dengan sanadnya kepada Abu Hurairah radliyallahu `anhu
bahwa dia berkata: Pernah dikatakan kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam: "Wahai Rasulullah, doakanlah kejelekan bagi musyrikin." Maka Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam menjawab: "Aku tidak diutus sebagai tukang
laknat, melainkan aku diutus sebagai rahmat." (HR. Muslim).
Dalam riwayat
lain Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Hanya saja aku diutus
sebagai rahmat yang diberikan." (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3 / 222). Maka
Islam adalah agama kasih sayang, dibawa oleh seorang penyayang dari Allah yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Negara Islam Mengapa Takut? Kalau
demikian kenyataannya mengapa kita mesti takut terhadap munculnya negara Islam,
negara yang mengayomi rakyat semesta dan membawa bangsa kepada kemakmuran yang
hakiki, yang memberi kesempatan kepada rakyat non Islam untuk menjalankan
agamanya sambil melihat kesempurnaan syariat Islam sehingga suatu saat mereka
akan masuk Islam tanpa paksaan. Dan ini berarti rahmat yang lebih sempurna lagi
bagi mereka.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melarang kaum
Muslimin untuk mengganggu orang-orang non-Islam yang hidup sebagai kafir
dzimmni. Yaitu orang kafir yang termasuk warga negara Islam yang dilindungi
selama mereka mentaati peraturan-peraturan negara dan membayar jizyah (semacam
upeti atau pajak). Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak mengijinkan kalian untuk masuk ke rumah orang-orang
ahli kitab kecuali dengan seijin mereka, tidak boleh memukul mereka dan
mengambil buah-buahan mereka selama mereka memberikan kepada kalian kewajiban
mereka." (HR. Abu Dawud).
Demikianlah warga negara non-Islam diberikan
hak-haknya dan dijaga hartanya, tidak boleh dirampas hartanya atau dibunuh
jiwanya dengan dhalim selama mereka mentaati peraturan-peraturan negara Islam,
walaupun kita sama-sama tahu bahwa kedudukan mereka lebih rendah dari kaum
Muslimin, sebagaimana ucapan Umar bin Khattab radliyallahu `anhu: "Rendahkanlah
mereka tapi jangan dhalimi mereka." (Fatawa 28 / 653)
Demikian pula
orang-orang non-Muslim yang bukan warga negara tetapi terikat perjanjian damai.
Seperti para pendatang dari negara asing yang tidak dalam keadaan berperang
(dengan Muslim) atau dalam kata lain terikat perjanjian damai. Maka kita tidak
boleh mengganggu, apalagi membunuh mereka selama mereka mengikuti
peraturan-peraturan negara Islam. Demikian pula duta-duta asing yang tinggal di
negara Islam. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mengancam orang-orang
yang mengganggu atau mendhalimi mereka. Mereka ini distilahkan dengan kafir
mu'ahhad (yaitu terikat perjanjian):
"Ketahuilah barang siapa mendhalimi
seorang mu'ahad; atau mengurangi hak-haknya; atau membebaninya di luar
kemampuannya; atau mengambil sesuatu daripadanya tanpa keridlaannya. Maka aku
akan menjadi penentangnya pada hari kiamat." (HR. Abu Dawud dan Baihaqi. Lihat
Ash-Shahihah oleh Syaikh Al-Albani 1 / 807).
Apalagi membunuh seorang
mu`ahad, Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam lebih keras lagi mengancamnya:
"Barangsiapa membunuh seorang mu'ahad, maka ia tidak akan mencium bau surga,
padahal harumnya surga didapati dari jarak 40 tahun perjalanan." (HR.
Bukhari).
Oleh karena itu para duta-duta asing atau tamu-tamu asing yang
non-Muslim tidak perlu khawatir masuk negara Islam dan tidak perlu takut
berdirinya negara Islam di bumi persada Indonesia ini karena Islam merupakan
rahmat untuk seluruh manusia.
Bahkan kalau pendatang non-Muslim itu
merupakan utusan, walaupun utusan itu dari negara kafir yang sedang berperang
dengan negara Islam sekali pun, mereka tidak perlu takut karena Islam dengan
rahmatnya tidak membolehkan menangkap, menahan atau membunuh para utusan (yang
diistilahkan dalam syari'at dengan wufud).
Pernah suatu hari Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam didatangi dua orang utusan dari Musailamah
al-kadzab, seorang nabi palsu yang memusuhi Rasulullah. Kemudian Beliau
bersabda: "Apakah kalian mau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah?" Mereka
berkata: "Kami bersaksi bahwa Musailamah adalah Rasulullah." maka Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam pun bersabda: "Aku beriman kepada Allah dan para
rasul-Nya! Kalau saja aku membolehkan untuk membunuh seorang utusan tentu akan
aku bunuh kalian berdua!"
Bahkan walaupun utusan kafir tersebut kemudian
masuk Islam, Rasulullah tetap memerintahkannya untuk kembali kepada kaum yang
mengutusnya sebagaimana diriwayatkan dari Abu Rafi' sebagai berikut: Aku diutus
oleh orang-orang kafir Quraisy menemui Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam.
Ketika aku melihat beliau, masuklah Islam ke dalam hatiku. Maka aku mengatakan
kepada beliau: "Wahai Rasulullah, demi Allah aku tidak akan kembali kepada
mereka selama-lamanya."
Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
bersabda: "Sesungguhnya aku tidak akan melanggar perjanjian dan tidak akan
menahan para utusan. Maka kembalilah engkau! Kalau pada dirimu tetap ada
keimanan seperti sekarang ini maka kembalilah engkau kemari." (HR. Abu Dawud,
An-Nasa'i, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Ahmad. lihat Silsilah Al-Ahadits
Ash-Shahihah oleh Syaikh Al-Albani 6 / 316).
Dalam riwayat lain
dikatakan: "Sesungguhnya aku tidak melanggar janji dan tidak akan menangkap
seorang utusan." (HR. Abu Dawud dan Nasa'i)
Inilah Islam, inilah
keadilan. Tidak akan didapati kebijaksanaan yang seperti ini dalam agama lain.
Hanya saja orang-orang bodoh dan para ahli bid'ah merusak gambaran yang indah
ini dengan melanggarnya, atau dengan mengada-adakan aturan-aturan baru (bid'ah)
dan kebijaksanaan-kebijaksanaan sendiri yang mereka anggap baik dengan emosi dan
hawa nafsunya. Yang akhirnya justru merusak gambaran Islam dan membuat manusia
takut kepadanya. Rahmat Islam dalam Perang Demikian pula dalam
peperangan, Agama Islam tidak lepas dari sifatnya sebagai rahmat bagi seluruh
alam. Islam mengajarkan peraturan-peraturan dan hukum-hukum perang. Siapa yang
boleh dibunuh dan siapa yang tidak. Bolehkah merusak jasad musuh atau tidak, dan
seterusnya. Setiap melepas suatu pasukan untuk berperang Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam selalu memberikan wasiat kepada mereka, yang berisi nasihat
dan peraturan peperangan. Di dalamnya kita akan dapati rahmat dan kasih sayang.
Simaklah wasiat beliau berikut ini:
Diriwayatkan dari Sulaiman bin
Buraidah dari ayahnya dari Aisyah radliyallahu `anha, ia berkata: Bahwasanya
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam jika mengutus seseorang komandan yang
membawa sebuah pasukan --besar atau kecil-- beliau mewasiatkan kepada pribadinya
untuk bertakwa kepada Allah dan mewasiatkan untuk kaum muslimin dengan kebaikan.
Kemudian bersabda: "Berperanglah dengan nama Allah di jalan Allah!
Perangilah orang yang kafir kepada Allah. Berperanglah tapi jangan mencuri
rampasan perang, jangan ingkar janji, jangan merusak jasad musuh, jangan
membunuh anak-anak. Jika kalian menemui musuhmu dari kalangan musyrikin, maka
ajaklah mereka kepada tiga perkara. Jika mereka menerima salah satunya, maka
terimalah dan berhentilah (tidakmemerangi): Ajaklah kepada Islam. Kalau mereka
mengikuti ajakanmu, maka terimalah dari mereka dan tahanlah peperangan. Ajaklah
kepada Islam. Kalau mereka menyambut ajakanmu, maka terimalah dan ajaklah untuk
pindah (hijrah) dari desa mereka ke tempat muhajirin (Madinah).
Kalau
mereka menolak, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa mereka dianggap sebagai
orang-orang arab gunung (nomaden) yang Muslim. Tidak ada bagi mereka bagian
ghanimah (pampasan perang) sedikit pun kecuali jika mereka berjihad bersama kaum
muslimin. Kalau mereka menolak (untuk masuk Islam) maka mintalah dari mereka
untuk membayar jizyah (upeti) (sebagai orang-orang kafir yang dilindungi). Kalau
mereka menolak, maka minta tolonglah kepada Allah untuk menghadapi mereka
kemudian perangilah.
Jika engkau mengepung penduduk suatu benteng,
kemudian mereka menyerah ingin meminta jaminan Allah dan Rasul-Nya, maka
janganlah kau lakukan. Tetapi jadikanlah untuk mereka jaminanmu, karena jika
kalian melanggar jaminan-jaminan kalian itu lebih ringan daripada kalian
menyelisihi jaminan Allah. Dan jika mereka menginginkan engkau untuk mendudukkan
mereka di atas hukum Allah, maka jangan kau lakukan. Tetapi dudukkanlah mereka
di atas hukummu karena engkau tidak tahu apakah engkau menepati hukum Allah pada
mereka atau tidak." (HR. Muslim dalam Kitabul Jihad bab Ta'mirul Imam no.
1731)
Di awal wasiatnya Beliau memperingatkan untuk jangan mencuri,
jangan ingkar janji, jangan merusak jasad musuh, jangan membunuh anak-anak, dan
seterusnya. Sebuah nasihat yang merupakan kasih sayang Islam kepada seluruh
manusia walaupun terhadap orang kafir.
Kemudian Beliau menganjurkan
untuk memberikan pilihan kepada musuh. Apakah mereka akan masuk Islam atau
membayar jizyah yang berarti mereka akan selamat; atau tidak mau memilih
keduanya yang berarti perang. Ini merupakan kasih sayang yang sangat besar,
memberikan kesempatan kepada musuh untuk selamat dunia dan akhirat. Kalau mereka
memilih Islam berarti mereka selamat di dunia dan di akhirat. kalau memilih
jizyah berarti selamat di dunia. Sedangkan kalau mereka tidak ingin selamat,
maka barulah mereka diperangi. Pantaskan?!
Selanjutnya Beliau
menasihatkan dalam memberikan keputusan terhadap musuh tidak boleh
mengatasnamakan Allah. Karena bisa jadi dia tidak tepat atau tidak mencocoki
hukum Allah dalam memutuskan. Wanita juga termasuk pihak yang tidak boleh
dibunuh dalam peperangan. Islam dengan rahmatnya tidakmembolehkan pembunuhan
terhadap wanita.
Pernah pada suatu hari Rasulullah shallallahu `alaihi
wa sallam berjalan bersama pasukannya dalam suatu peperangan. Kemudian Beliau
melihat orang-orang berkerumun pada sesuatu, maka beliau pun mengutus seseorang
untuk melihatnya. Ternyata mereka mengerumuni seorang wanita yang terbunuh oleh
pasukan terdepan. Waktu itu pasukan terdepan dipimpin oleh Khalid bin Walid.
Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pun bersabda: "Berangkatlah engkau
menemui Khalid dan katakan kepadanya: Sesungguhnya Rasulullah melarang engkau
untuk membunuh dzuriyah (wanita dan anak-anak, ed) dan pekerja / pegawai." (HR.
Abu Dawud).
Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
bersabda: "Katakan pada Khalid jangan ia membunuh wanita dan pekerja." (HR.
Ahmad, Ibnu Majah dan Ath-Thahawi. Lihat Ash-Shahihah oleh Syaikh Al-Albani 6 /
314).
Dalam riwayat yang lebih shahih dikatakan: "Diriwayatkan dari Ibnu
Umar bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam melihat seorang wanita terbunuh
dalam suatu peperangan. Maka beliau pun mengingkari pembunuhan wanita dan
anak-anak." (Muttafaqun `alaihi)
Dari riwayat-riwayat ini jelas bahwa
wanita dan anak-anak tidak boleh dibunuh dalam peperangan. Sedangkan pegawai
atau pekerja yang dimaksud adalah warga sipil yang tidak ikut dalam peperangan.
Mereka ini juga tidak boleh dibunuh. Demikianlah peraturan Islam, betapa
indahnya peraturan tersebut. Kaum muslimin sudah mengenal istilah "warga sipil"
yang tidak boleh dibunuh sejak turunnya Al-Qur'an ribuan tahun yang lalu. Inilah
kasih-sayang Islam yang datang sebagai rahmat bagi seluruh alam termasuk kepada
musuhnya sekali pun.
Rahmat dalam Hukum Had
Termasuk dalam hukum
had dan qishas, kasih sayang Islam tidak pernah hilang. Di samping hukum itu
sendiri memang membawa rahmat, penerapannya pun tidak sembarangan. Membutuhkan
penyelidikan dan kepastian serta masih terkait dengan tuntutan korban atau
maafnya. Seperti hukum qishas, hukum seorang yang membunuh adalah dibunuh
pula. Hukum ini membawa rahmat kepada seluruh kaum muslimin yaitu keamanan dan
ketentraman. Bahkan hukum yang sepintas terlihat akan membawa korban lebih
banyak, ternyata bagi orang yang cerdas akan terlihat bahwa sesungguhnya hukum
ini justru menjaga kehidupan. Allah berfirman : "Sesungguhnya pada hukum qishash
ada kehidupan bagi kalian wahai orang yang cerdas, semoga kalian bertakwa."
(Al-Baqarah: 179)
Namun hukum ini pun terkait dengan tuntutan keluarga
korban. Jika mereka memaafkan maka tidak dilakukan hukum bunuh melainkan
membayar diat, semacam uang denda atau tebusan senilai harga seratus ekor unta
yang diberikan kepada keluarga korban. Ini pun merupakan rahmat dan keringanan
dari Allah untuk mereka sebagaimana Allah katakan sendiri dalam ayat-Nya: "Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba
dan wanita dengan wanita.
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan
dari saudaranya, hendaknya (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan
cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu
dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampui batas sesudah itu, maka baginya
siksa yang sangat pedih." (Al-Baqarah: 178)
Ini pun kalau benar-benar
terbukti ia membunuh dengan sengaja, kalau ternyata tidak sengaja maka tidak ada
qishas yang ada adalah diat. Bahkan kalau keluarga korban akan menginfakkan
tebusan tersebut kepada sipembunuh dan mema'afkannya, berarti ia tidak perlu
membayar diat.
Walaupun yang dibunuh adalah seorang kafir mu'ahad yang
terikat perjanjian, tetap wajib bagi si pembunuh yang Muslim membayar diat
kepada keluarga korban serta memerdekakan seorang budak. Tetapi tidak ada qishas
baginya. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman: "Dan tidak layak bagi seorang
mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak
sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu) kecuali jika mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu padahal ia
mukmin, (maka hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin.
Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai)
antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang
mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh)
berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara bertaubat kepada Allah. Dan
adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (An-Nisa:
92)
Sedangkan hukum potong tangan bagi pencuri atau hukum cambuk (bagi
penzina yang belum menikah) dan rajam (bagi penzina yang telah menikah) dan
lain-lain merupakan kejahatan yang jika sudah sampai kasusnya kepada pemerintah
maka harus ditegakkan hukum padanya. Inipun sesungguhnya merupakan rahmat bagi
seluruh kaum muslimin bahkan seluruh manusia.
Hukum potong tangan bagi
pencuri -misalnya-- membawa keamanan dan ketenangan bagi seluruh rakyat. Hukum
cambuk dan rajam bagi penzina membawa keselamatan bagi seluruh manusia dari
berbagai penyakit-penyakit kelamin disamping menjaga keturunan dan nasab, agar
tidak tercampur dan kacau.
Hukum-hukum ini pun tidak begitu saja
diterapkan, tetapi melalui proses dan aturan-aturan yang jelas. Seperti pada
hukum potong tangan, tidak semua pencuri di potong tangannya. Jika ia mencuri di
bawah tiga dirham, maka ia tidak dipotong tangannya. Berarti ada jumlah tertentu
yang menyebabkan seorang pencuri mendapatkan hukuman potong tangan. Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Jangan dipotong tangan seorang pencuri
kecuali pada pencurian seperempat dinar ke atas." (muttafaqun 'alaihi. Dengan
lafadh Muslim).
Sedangkan dalam riwayat Bukhari dengan lafadh sebagai
berikut: "Dipotong tangan seorang pencuri pada pencurian seperempat dinar ke
atas." (HR. Bukhari) Seperempat dinar adalah tiga dirham, karena satu dinar
adalah duabelas dirham. Dalam riwayat lain dari Ibnu Umar yang juga dirkeluarkan
oleh bukhari dan muslim disebutkan bahwa Rasulullah memotong tangan seorang
pencuri yang mencuri sebuah tameng seharga tiga dirham: "Dari Ibnu Umar
radliyallahu `anhuma bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam memotong tangan
pada pencurian sebuah tameng seharga tiga dirham." (Muttafaqun `alaihi)
Seperti kita katakan tadi bahwa hukum ini dilaksanakan jika sudah sampai
kasusnya pada pemerintah. Adapun jika belum sampai kasusnya pada pemerintah,
maka dianjurkan untuk saling memaafkan dan tidak saling menuntut. Abu Majidah
menceritakan: Pernah pada suatu hari aku duduk bersama Abdullah bin Mas'ud
radliyallahu `anhu, maka beliau pun berkata: Aku ingat orang pertama yang
dipotong tangannya oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Waktu itu
didatangkan seorang pencuri kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam.
Lalu beliau pun memerintahkan untuk dipotong tangannya. Aku melihat wajah
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sepertinya memendam kekecewaan. Maka
para shahabat pun berkata: "Wahai Rasulullah, sepertinya engkau tidak suka orang
itu dipotong tangannya?" Maka beliau pun bersabda: "Apa yang menghalangiku untuk
memotongnya?" Kemudian beliau bersabda: "Janganlah kalian menjadi
pendukung-pendukung setan terhadap saudaramu! Sesungguhnya tidak pantas bagi
seorang imam jika telah sampai kepadanya hukum had kecuali harus menegakkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf dan cinta pada pemaaf. Maka saling memaafkanlah
kalian dan saling memaklumi. Bukankah kalian suka kalau Allah mengampuni kalian.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (HR. Ahmad, Al-Hakim dan
Baihaqi. Lihat Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah oleh Syaikh Al-Albani
rahimahullah 4 / 181).
Demikianlah kasih sayang Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam yang diutus oleh Allah yang Maha Penyayang untuk menebarkan
kasih sayang kepada seluruh alam. Kemudian mengenai hukum cambuk dan hukum rajam
bagi para pezina. Apakah ini kalian anggap menghalangi kebebasanmu dalam
bergaul ? Kalau kalian cerdas dan tidak sempit pandangan, kalian akan melihat
bahwa hukum ini menjaga dan melindungi istrimu, anak perempuanmu, bibimu,
saudara perempuanmu dan seterusnya. Bukankah ini rahmat dan kebaikan
bagimu? Pernah seorang pemuda datang kepada Nabi shallallahu `alaihi wa
sallam meminta ijin untuk berzina. Maka dengan sabar Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam menerangkan kepadanya cara berfikir yang benar: "Bagaimana
pendapatmu kalau itu terjadi pada ibumu?" Anak itu menjawab: " Ayah dan ibuku
sebagai jaminan! aku tidak akan ridla." "Bagaimana pendapatmu kalau itu terjadi
pada istrimu?" Anak muda itu menjawab: "Ayah dan ibuku sebagai jaminan! aku
tidak akan ridla." Demikian seterusnya Beliau menanyakan bagaimana kalau terjadi
perzinaan itu pada keluarganya, anak perempuannya, kakak perempuannya, bibinya,
ternyata dia tidak ridla. Maka beliaupun bersabda: "Kalau begitu orang lain pun
tidak ridla perzinaan itu terjadi pada ibu-ibu mereka, istri-istri mereka,
anak-anak perempuan mereka, saudara-saudara perempuan mereka, atau pun bibi-bibi
mereka."
Inilah hikmah ditegakkannya hukum bagi para pezina dengan
cambuk atau rajam. Menjaga istri-istri kita, anak-anak perempuan kita, ibu-ibu
kita, saudara-saudara perempuan kita, bibi-bibi kita, dan seterusnya. Di samping
itu juga penerapannya tidak sembarangan, harus didatangkan empat saksi untuk
ditegakkannya hukum ini. Dan saksi-saksi itu harus mengetahui betul kejadiannya.
Bahkan harus yakin betul kalau "timba telah masuk ke dalam sumurnya". Adapun
dugaan, prasangka, atau melihatnya berpelukan, berciuman dan lain-lain belum
bisa diterima sebagai saksi sampai ia yakin betul bahwa "timba telah masuk ke
dalam sumurnya".
Empat saksi dalam keadaan yang seperti ini sangat susah
didapat. Keadaan seperti ini tidak akan didapat kecuali pada beberapa
kemungkinan: Kemungkinan pertama adalah seorang yang datang mengakui bahwa
dirinya telah berzina. Ini pun Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam berusaha
untuk memberikan kesempatan kalau dia mau mencabut ucapannya kembali sebagaimana
dalam riwayat berikut: Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu bahwa
datang seseorang dari kaum Muslimin kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam, sedang beliau berada di masjid. Orang itu memanggil Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam dan berkata: "Wahai Rasulullah, aku telah
berzina." Rasulullah pun memalingkan wajahnya. Kemudian orang itu bergeser ke
hadapan muka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sambil berkata kembali:
"Wahai Rasulullah, sungguh aku telah berzina."
Beliau pun berpaling
kembali ke arah lain. Dan orang itu pun kembali mengikuti ke hadapan muka
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan mengucapkan kembali ucapannya,
demikian sampai empat kali. Setelah empat kali orang itu mempersaksikan atas
dirinya dengan zina, Rasulullah memanggilnya dan bersabda: "Apakah engkau gila?"
Orang itu menjawab: "Tidak." Beliau berkata lagi: "Apakah engkau seorang yang
muhsan ?" Orang itu menjawab: "Ya." Maka Nabi pun memerintahkan kepada kaum
Muslimin: "Pergilah kalian membawa orang ini dan rajamlah ia." (HR. Muttafaqun
`alaih)
Dalam riwayat Bukhari, orang tersebut ketika dirajam sempat
lari. Yaitu pada saat mulai terasa batu-batu itu menyakiti tubuhnya. Namun
orang-orang mengejarnya dan melanjutkan hukuman rajam sampai matinya. Ketika
disampaikan kejadian larinya orang tersebut, Rasulullah bersabda: "Tidakkah
kalian biarkan orang itu lari. Barangkali orang itu bertaubat kepada Allah dan
Allah menerima taubatnya." Dalam riwayat lain, beliau bersabda: "Mengapa kalian
tidak membawanya kembali kemari." (HR. Abu Dawud)
Oleh karena itu, Imam
Syafi'i dan Imam Ahmad menyatakan: Bolehnya seorang yang sudah mengaku berzina
mencabut kembali pernyataann ya dan jika orang tersebut lari tidak dikejar,
semoga dia mau ruju' dan mencabut kembali ucapannya. Sekali lagi ini adalah
khusus bagi yang datang mempersaksikan dirinya bahwa ia telah berzina. Inilah
kasih sayang Islam kepada manusia. Tidak sekejam apa yang digambarkan oleh
orang-orang kafir dan munafiqin
Kemungkinan kedua adalah seorang yang
sangat biadab, berzina di tempat terbuka dan menjadi tontonan manusia tanpa
merasa malu apalagi merasa berdosa. Atau bahkan -- maaf-maaf -- menjadi pemain
dalam adegan-adegan porno didepan para penonton yang membayarnya. Sungguh fitrah
kita pun ingin merajam orang yang seperti ini sebelum kita mengerti hukum rajam.
Atau kemungkinan ketiga terbukti dengan kehamilan. Berkata Umar bin Khattab
dalam khutbahnya: "…Sesungguhnya rajam itu adalah hak di dalam kitab Allah bagi
orang yang berzina jika ia seorang yang muhsan, baik ia laki-laki maupun
perempuan jika telah tegak bukti-bukti (saksi-saksi). Atau adanya kehamilan,
atau ia mempersaksikan dirinya dengan zina." (Muttafaqun `alaih). RAHMAT
KEPADA HEWAN Kepada hewan sekali pun Islam tetap mengajarkan untuk memberikan
kasih sayangnya. Dalam memelihara kita harus memberinya makan yang cukup.
Dalam menunggangi kita dilarang memberikan beban yang terlalu berat. Dalam
menyembelih kita harus menggunakan pisau yang tajam dan di tempat yang langsung
mematikan, yaitu di lehernya. Dan seterusnya.
Pernah suatu hari
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memasuki perkampungan kaum Anshar.
Kemudian beliau masuk ke suatu tembok kebun salah seorang dari mereka. Tiba-tiba
beliau melihat seekor unta yang kurus. Ketika melihat Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam, unta itu menangis, merintih dan meneteskan air mata. Maka
beliau pun mendekatinya lalu mengusap perutnya sampai ke punuknya dan ekornya.
Unta itu pun tenang kembali. Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
bersabda: "Siapa penggembala unta ini?" Atau dalam riwayat lain beliau
bersabda: "Siapa pemilik unta ini?" Maka datanglah seorang pemuda dari Anshar,
kemudian berkata: "Itu milikku ya Rasulullah." Maka Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam berkata: "Tidakkah engkau bertakwa kepada Allah dalam
memelihara ternak yang telah Allah berikan kepadamu itu? Sesungguhnya ia
mengeluh kepadaku bahwa engkau melaparkan dan melelahkannya."
Yakni
beliau menegur si pemilik unta tersebut karena dia kurang dalam memberi makan,
tetapi mempekerjakannya dengan beban yang terlalu berat. Maka beliau menegurnya
dengan ucapan: "Tidakkah kamu takut kepada Allah." Ini mengandung ancaman bagi
orang yang menyiksa hewan peliharaannya. Bukankah ini suatu rahmat dan kasih
sayang yang besar.
PENUTUP
Demikianlah apa yang bisa saya tulis
tentang kasih sayang dan rahmat Islam kepada seluruh manusia. Mudah-mudahan
Allah menambahkan kepada kita dan para pembaca sekalian keilmuan dan keimanan.
Amin. Wallahu a`lam bis-shawab.
MARAJI': 1). Tafsirul Adhim, Ibnu
Katsir, cet. Darus Salam, tahun 1413 H / 1992 M.
2). Fathul Bari, Ibnu
Hajar, cet. Darul Fikr, tahun 1414 H / 1992 M.
3). Shahih Muslim dengan
Syarah Imam Nawawi, Muslim bin Hajjaj, cet. Darul Ma'rifah, tahun 1414 H / 1994
M.
4). Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, Syaikh Al-Albani, cet. Maktabah
Al-Ma'arif, tahun 1415 H / 1995 M.
5). Subulus Salam Syarah Bulughul
Maram, Imam Ash-Shan`ani, cet. Darul Kitab, th. 1414 H / 1994 M.
6).
Al-Hilm, Al-Hafidh Ibnu Abi Dunya dengan tahqiq Majdi Sayyid Ibrahim, cet.
Maktabatul Qur'an, tanpa tahun.
7). Nurul Yaqin, Syaikh Muhammad
Al-Khudari, cet. Darul Fikr, tahun 1414 H / 1994.
8). An-Nihayah fi
Gharibil Hadits, Ibnu Atsir, cet. Darul Fikr, tahun 1399 H / 1979.
|
|
Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel :
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=54
|
Komentar
Posting Komentar